Sabtu, 08 Maret 2008

Racism: INDONESIAN VS CHINEESE

Mungkin tulisan ini sudah out of the date, karena dilihat dari temanya lebih pas jika diposting bersamaan dengan Tahun Baru Imlek. But, I don’t care karena menurutku Chineese bukan hanya identik dengan Cap Go Meh-nya tapi juga di kehidupan social kita.

Sebagaimana yang kita tahu, perayaan Imlek baru “ramai” dirayakan orang sejak pemerintahan Gus Dur. Karena pada rezim eyang Harto, semua yang berbau Chineese masih tabu untuk diekspos alias masih ada Racism between native Indonesian and Chineese.

Mungkin selama ini banyak yang belum tahu mengapa di Zaman orde baru, orang China cenderung di nomerduakan di negeri kita. Ini tidak terlepas dari peristiwa G30S/PKI. Ketika pergerakan PKI membabi buta diseluruh pelosok negri, dan puncaknya ketika penculikan dan pembunuhan para Jendral. Namun semuanya bisa diatasi oleh aparat kita, yang konon waktu itu dipimpin oleh pak Harto.

Gerakan-gerakan masyarakat yang menginginkan segera dibubarkannya PKI semakin terasa diseluruh negeri, banyak warga yang memburu dan membunuh PKI yang masih bersembunyi di hutan. Ketika semua orang sibuk dengan penumpasan gerakan PKI, ada yang menyebutkan bahwa senjata yang digunakan PKI disupply dari China yang notabennya adalah Negara komunis. Berawal dari itulah gerakan anti PKI juga dibarengi dengan gerakan anti China.

Sejak peristiwa itu, para keturunan China di Indonesia mendapatkan perlakuan tidak adil disegala bidang, baik urusan birokrasi, pendidikan, imigrasi, social dll. Salah satu keturunan Tionghoa menceritakan pengalaman pahitnya pada salah satu majalah bahwa dulu ketika dia sekolah, SPP yang dipungut dari orang keturunan China lebih besar dari orang pribumi. Juga ketika dia akan masuk kuliah di Perguruan Tinggi, dalam blangko pendaftaran tes disitu ada 3 lingkaran yang harus dipilih; WNI, WNI keturunan, WNA. Lalu dia pilih yang kedua. Finally, dia tidak berhasil masuk ke PT tadi hanya gara2 nilainya 00,2 dibawah standar nilai lulus untuk WNI keturunan. Dan seandainya dia WNI asli, dia bisa lolos, karena standar nilai untuk WNI lebih rendah dibandingkan untuk WNI keturunan. Muncul pertanyaan sekarang, emang semua orang China lebih kaya dan lebih brilliant dari orang Jawa?

Dan ternyata perlakuan racism kepada orang China tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di Amerika. Salah seorang responden majalah weekender Jakarta Post yang mempunyai keturunan China dari bapak dan Amerika dari Ibu menuturkan pengalaman masa kecilnya beserta keluarganya yang mendapatkan “strange stare” dari penduduk setempat (North Dakota, red) ketika pertama kali pindah di kota kecil itu. Selidik punya selidik ternyata penduduk dstu tidak suka melihat orang China menikahi gadis blonde apalagi melihat anak2 campuran dari keduanya. Keluarga itupun selanjutnya menerima peristiwa pahit bertubi2; 2 anjing peliharaan mereka ditemukan terbunuh dengan kondisi yang mengenaskan, dan ketika sang Bapak berhasil mendapatkan pekerjaan baru diluar kota yang mengaharuskan semua keluarga pindah, bank local di kota tersebut tidak memberikan pinjaman kepada siapapun yang berniat membeli rumah keluarga tersebut.

Ironis memang jika melihat kenyataan tidak manusiawi yang harus diterima oleh sesama makhluk tuhan yang mempunyai status sama dihadapanNYA. Tuhan tidak pernah membedakan makhluknya dari warna kulitnya, status sosialnya, bahkan sipit dan lebarnya mata. Tuhan hanya melihat kualitas iman kita. So, jangan pernah membeda2kan diri kita dengan saudara2 kita sendiri dan juga jangan merasa paling beda.

0 komentar: